1.1.15

The Birth of Little Captain

Sabtu, 16 Agustus 2014

Pagi
Pagi-pagi, saya berangkat ke RSIA Limijati sama Agam yang baru datang dari Jakarta, Mama, dan Papa. Kebetulan hari ini ada jadwal kontrol rutin sama obgyn saya, dr. Yena M Yuzar. 

Oh ya, HPL saya adalah tanggal 19 Agustus 2014. Jadi hari ini adalah H-3 HPL alias sudah mepet banget sama HPL. 

Siang
Walaupun datang pagi, saya baru dapat giliran siang menjelang sore. Maklum, dr. Yena adalah obgyn favorit di Bandung. Jadi kalau mau jadi pasien beliau harus siap antriannya panjang.

Begitu tiba giliran saya, seperti biasa, saya langsung tidur di ranjang dan di-USG. Alhamdulillah Little Captain sehat wal afiat. Posisi kepala memang sudah di bawah sejak awal trimester tiga. Nggak ada lilitan tali pusat. Pintar banget nih anak... *elus-elus perut* 

Tapi, karena usia kehamilan sudah tua, air ketuban saya sudah mulai berkurang dan plasenta sudah mulai mengapur. dr. Yena juga (lagi-lagi) mewanti-wanti saya soal berat janin yang overweight. Hehe... saya nggak tahan lihat ketupat dan kue Lebaran sih, dok...

dr. Yena pun merekomendasikan induksi. Dia bilang, persalinan normal memang bisa ditunggu sampai usia kehamilan 41 minggu atau 42 minggu, tapi terlalu riskan mengingat kondisi air ketuban dan plasenta.

Saya langsung galauuu kenapa mesti pakai induksi segala. Tapi, setelah diskusi panjang lebar, akhirnya disepakati: saya akan diinduksi besok siang. (Kenapa mesti besok siang, kenapa nggak hari ini atau lusa, saya lupa alasannya. :D)

Oh ya, sebelum pulang, saya sempat mampir ke Riau Junction buat ketemu sama sahabat saya sejak kuliah, Andin. Dia dulu melahirkan dibantu dr. Yena dengan cara induksi juga, jadi sekalian tanya-tanya.

Malam
Cek dan ricek tas yang mau dibawa ke rumah sakit. Untung saya sudah packing sejak dua minggu lalu.

***

Minggu, 17 Agustus 2014

01.00-02.00
Rasanya belum lama tertidur, saya sudah terbangun karena sakit perut luar biasa. Pernah merasakan sakit menjelang menstruasi? Kalikan sepuluh. Nah, kira-kira begitulah rasanya.

Agam mulai cemas. "Gimana kalau kita berangkat ke rumah sakit sekarang aja?"

"Ah paling juga kontraksi palsu lagi," kata saya. Dua minggu belakangan, saya memang cukup sering mengalami yang namanya Braxton Hicks alias kontraksi palsu.  "Berangkat ke rumah sakitnya nanti siang aja kayak rencana semula."

Tapi kontraksinya kok makin lama makin teratur ya. Lewat aplikasi Contraction Timer yang saya install di HP, terlihat jeda antar kontraksi sudah lima menit. 

04.00
Saya ke kamar mandi karena kebelet pipis. Waduh... yang keluar kok malah segumpal darah segar. OK, switch to plan B!

Saya dan Agam langsung membangunkan Mama dan Papa yang tidur di lantai atas, menyambar tas, dan berangkat ke rumah sakit. Oh ya, saya sempat makan roti dan minum teh manis panas dulu, walaupun akhirnya saya muntahkan sih.

05.00
Sampai RSIA Limijati. Langsung ke kamar bersalin di lantai 2 yang ternyata... rame banget kayak mall! Ternyata, karena hari ini tanggal cantik, jadi banyak bumil yang mau operasi caesar. Oalah... 

Gara-gara kamar bersalinnya penuh, saya cuma kebagian tempat darurat, yang sebenarnya cuma ranjang yang ditaruh di luar kamar bersalin dan ditutup tirai. Hiks... Tapi saya masih lebih beruntung karena banyak bumil lain yang nggak kebagian ranjang dan cuma bisa duduk di kursi ruang tunggu. 

Saya acung empat jempol deh buat suster-suster RSIA Limijati. Satu suster langsung sigap memasang alat tes CTG, satu suster menyuntik tangan kiri saya buat jaga-jaga kalau nanti harus diinfus, satu suster memasang gelang pasien di tangan kanan saya, dan satu suster lainnya periksa dalam.

"Bukaan dua," katanya.

Saya yang seminggu belakangan sering galau kok Little Captain nggak lahir-lahir langsung sumringah. Tegang juga sih, tapi masih lebih banyak excitednya. "Sebentar lagi kita ketemu ya, dek," kata saya sambil elus-elus perut.

Oh ya, suasana kamar bersalin jauh dari bayangan saya sebelumnya. Semua orang terlihat santai aja. Saya pun masih bisa ngobrol sama Agam dan Mama yang ganti-gantian memijat punggung dan kaki saya. Masih bisa whatsappan juga. 

Beruntung, dr. Yena kebetulan ada di rumah sakit karena ada jadwal operasi caesar bumil lain. Dia langsung datang untuk periksa dalam.

"Bukaan empat," katanya. dr. Yena sempat agak kaget melihat saya sudah di kamar bersalin dan sudah ada bukaan subuh-subuh, padahal saya baru dijadwalkan untuk diinduksi siang harinya.

Setelah itu saya sudah nggak sanggup lihat jam lagi
Soalnya... rasa sakitnya menjalar sampai ke seluruh tubuh! Betul kalau ada yang bilang karakter asli seseorang bakal keluar kalau mau melahirkan. Saya jadi keluar deh juteknya. Rasanya pingin marah sama Agam yang pijatannya nggak enak, pingin marah sama suster yang masang alat tes CTG yang berisik, pingin marah sama bumil lain yang ada di kamar bersalin (kan saya pinginnya saya yang di situ...). Pokoknya serumahsakit pingin saya terkam semua! 

Padahal saya rajin ikut senam hamil dan kelas hypnobirth, lho. Tapi kalau pas sakit kontraksi gitu mana ingat ya...

Untung setiap jeda antar kontraksi (yang makin lama makin sebentar) saya selalu ngantuk sampai ketiduran dan nggak ingat apa-apa lagi. Mungkin karena energi saya habis selama menahan sakit kontraksi ya. Jadilah kerjaan saya selama menunggu bukaan lengkap: marah-marah - ketiduran - marah-marah lagi - ketiduran lagi. Zzz...

Sampai di satu titik saya merasa nggak kuat lagi. "Sus, saya minta bius epidural dong. Nggak kuat sakitnya," rengek saya.
(Kalau ingat adegan itu sekarang jadi malu. Masa kalah sama Little Captain yang berusaha cari jalan keluar dari perut saya.)

Agam dan Mama nggak setuju. Soalnya, bius epidural mengandung resiko buat ibu maupun janin. Tapi karena saya rewel, akhirnya mereka mengalah juga. Suster datang bawa surat pernyataan yang harus ditandatangani pihak keluarga. Dari ranjang, saya lihat Agam menandatangani surat itu. "Sabar ya, Abang balikin surat ini dulu. Sebentar lagi dokter anestesinya datang buat nyuntik bius epidural," kata dia. Fiuuuh akhirnya...
(Belakangan, Agam ngaku kalau waktu itu dia nggak pernah menandatangani, apalagi mengembalikan surat itu. Dia cuma pura-pura biar saya tenang. Hih! Saya dibohongi!)

Bukaan enam...

Karena bukaan sudah mendekati lengkap, saya jalan pelan-pelan ke kamar bersalin. Kebetulan ada satu kamar yang sudah kosong.

Nggak lama setelah itu, kontraksi yang saya rasakan langsung hilang... karena diganti sama mulas! Dari berbagai literatur yang saya baca, kalau sudah terasa mulas dan ada dorongan buat mengejan, artinya bayi sudah mau keluar.

"Sus, kayaknya bayinya udah mau keluar nih. Coba periksa lagi."

"Tadi kan baru diperiksa masih bukaan enam bu. Nggak mungkin secepat itu nambah bukaannya. Tahan dulu ya jangan dulu ngeden."

Beberapa detik kemudian...

"Sus, ini saya nggak ngeden lho, tapi bayinya yang dorong. Coba periksa aja deh."

"Nggak boleh terlalu sering periksa dalam bu, takutnya infeksi."

AAARGH. Kalau boleh milih antara menahan sakit kontraksi sama menahan mengejan, saya lebih milih menahan sakit kontraksi deh. Saya sampai teriak-teriak nggak karuan di ranjang.

"Hus, malu ah. Lihat tuh yang lain nggak ada yang teriak-teriak," kata Mama.

Saya pun langsung mingkem. Hahaha!

Mungkin karena lihat ekspresi saya yang sudah nggak tahan mau mengejan, akhirnya suster periksa dalam juga.

"BUKAAN SEMBILAN!"

"Tuh kan bener!" kata saya dalam hati, emosi.

The next thing I knew, dr. Yena yang lagi menangani operasi caesar di kamar lain langsung lari-lari kecil masuk ke kamar saya. Sekitar tiga atau empat suster ambil posisi di sekeliling saya. Mama di sebelah kiri, Agam di sebelah kanan.

"Siap-siap ngeden ya," perintah dr. Yena.

And it just happened naturally. Saya ambil nafas panjaaang banget lalu menghembuskannya. Setelah itu rasanya plooong banget. 

"Dok, saya kehabisan tenaga nih. Bisa dibantu vakum nggak?"

"Lho, ini kepala bayinya udah keluar kok."

Apa? *langsung semangat mengejan lagi*

Tapi saking semangatnya malah salah mengejan. Belum tarik nafas malah sudah buang nafas hahaha... 

09.24
Akhirnya setelah mengejan untuk yang ketiga kalinya, there he is... My Little Captain was born. Alhamdulillah, proses melahirkan relatif lancar dan cepat. Bukaan lengkap hanya dalam waktu empat jam dan saya hanya mengejan tiga kali.







Raiszha Winayaka Ibrahim 
RSIA Limijati Bandung
Minggu 17 Agustus 2014 09.24
Berat 3,76 kg panjang 52 cm

Rais diambil dari bahasa Arab, artinya kapten. Bisa juga diartikan sebagai pemimpin. Ditambah -zha biar nggak pasaran aja.
Winayaka adalah nama lain Ganesha, dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Jawa kuno.
Ibrahim merupakan nama pemberian almarhum kakek buyutnya, diambil dari nama nabi yang menjadi ayah dan kakek bagi nabi-nabi yang turun setelahnya.

Semoga Little Captain bisa menjadi seperti namanya, pemimpin yang pintar dan jadi panutan, amin...

***


Setelah melahirkan, apa saya nangis? Nggak tuh! Saya malah sibuk mengamati bayi mungil yang ditaruh di dada saya untuk IMD, kulitnya kok keriput ya? Wajahnya mirip siapa ya?


Sayangnya, proses IMD nggak berhasil. Baru beberapa menit Little Captain merangkak di dada saya tapi belum sampai ke puting, dia sudah keburu diambil lagi untuk diobservasi. Skor Apgarnya 9 skala 10. 


Oh ya, selama IMD saya sambil dioperasi kuret karena ada bagian dinding rahim yang nggak ikut luruh, setelah itu saya dapat lima jahitan. Tapi nggak kerasa apa-apa tuh. Mungkin karena sudah merasakan yang jauh lebih sakit ya waktu kontraksi. Atau lebih tepatnya, karena tertutup oleh euforia bahagia.

Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. 

No comments:

Post a Comment